PKB Donggala - Sulawesi Tengah,
Oleh : Marwan Ja'far*
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada Rabu, 09/5/2012, sekelompok massa dari organisasi kegamaan tertentu melakukan penyerangan terhadap sebuah diskusi yang berlangsung di lembaga LKiS Yogyakarta. Tak hanya menyerang, mereka juga secara anarkhis merusak tempat berlangsungnya diskusi yang menghadirkan Irshad Manji, tokoh feminis dari New York University. Sebelumnya, kelompok ini juga melarang dilakukannya diskusi yang sedianya diadakan di Universitas Gadjah Mada. Dalam melakukan tindaknnya, mereka selalu saja berdalih atas nama Tuhan dan berlindung di balik jubah agama.
Sekedar mereview ingatan kita bersama, belum lekang dalam diingatan kita bagaimana pada tahun 2011 bom bunuh diri juga meledak di masjid Mapolresta Cirebon, gereja Bethel Injil Solo dan juga beberapa tempat lainnya yang memakan banyak korban. Semua dilakukan atas nama agama dan jihad. Serangkaian peristiwa tersebut membuktikan bahwa agama memang seringkali dijadikan justifikasi dalam melakukan tindak kekerasan.
Dalam beberapa peristiwa di atas, agama yang sarat dengan nilai-nilai keluhuran, di tangan sebagian pemeluknya justru telah berubah menjadi-meminjam istilah Mark Juergensmeyer (2006)- malaikat yang selalu meniupkan terompet kematian bagi siapapun yang berbeda keyakinan. Perjuangan menegakkan agama berubah menjadi monster yang begitu menakutkan.
Maraknya kekerasan atau pun pemaksaan kehendak yang sering mengatasnamakan agama akhirnya memunculkan sebuh pertanyaan mendasar; mengapa kekerasan atas nama agama masih sangat sering terjadi? Apakah agama memang mengajarkan kekerasan?
Dalam semua tradisi agama-agama besar di dunia, mulai Jain, Buddha, Hindu, Tao, Konfusionisme, Kristen, Islam, Yahudi dan agama asli Amerika tak satu pun mengajarkan kekerasan dan itu juga diteladankan para pemimpinnya. Namun ironisnya, di akhir abad dua puluh banyak ajaran yang terdapat dalam tradisi agama-agama besar dunia ternyata sering dimanipulasi dan digunakan untuk membenarkan segala macam tindak kekerasan.
Karena itu sebagai salah satu upaya menangkal fenomena radikalisme yang sudah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan, penting bagi kita untuk kembali melihat tradisi-tradisi keagamaan serta dasar-dasar spiritual yang bisa membawa kita memasuki milenium baru yang penuh perdamaian dan kasih sayang. Selain itu, pemahaman agama yang utuh, komprehensif dan dari berbagai sudut pandang juga penting karena ia akan mampu melahirkan sikap keberagamaan yang toleran, kritis serta menghargai berbagai perbedaan yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan melihat dasar-dasar spiritual yang diajarkan oleh setiap agama serta dengan pemahaman agama yag dewasa itulah seseorang tidak lantas dengan mudah mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya, sedang pada orang lain tidak ada kebenaran. Lebih dari itu, pemahaman keberagamaan seperti tersebut juga mampu mengurai kebekuan-kebekuan yang selama ini terjadi dalam memahami agama karena pandangan yang monolitik dalam melihat agama.
Dalam konteks Islam misalnya, perwujudan antikekerasan sesungguhnya terdapat dalam konsep jihad. Jihad selama ini sering disalah pahami sebagai perang suci dengan menghunus pedang. Padahal, jihad yang sesungguhnya adalah jihad berupa perjuangan menghadapi ketidakadilan sosial dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan.
Dalam pandangan Donald K. Swearer (2006), persoalan kekerasan atas nama agama di mana pun tempatnya seringkali bersumber dari soal ideologi keagamaan. Dan pada titik ini persoalan truth claim yang terdapat dalam setiap agama mempunyai andil yang signifikan.
Persoalan truth claim sebetulnya adalah sesuatu yang sah-sah saja. Tetapi ketika ia dijalankan tanpa sikap kritis dan pemahaman agama yang tidak seimbang, berat sebelah, pincang dan tanpa melihatnya dari beberapa sudut pandang, maka ia akan melahirkan pemahaman agama tidak toleran. Ujungnya ia hanya akan berdampak pada kekerasan atas nama agama atau dalam betuk lainnya.
Karenanya ketika dihadapkan pada masalah hubungan sosial-keagamaan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, maka apa yang oleh Hossein Nasr (1995) diistilahkan sebagai relatively absolute menjadi penting untuk diaplikasikan. Dikatakan absolut karena setiap agama mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah.
Untuk melerai atau setidaknya menjernihkan pencampuradukkan wilayah teologis dan kultural-sosiologis dalam beragama, maka tampaknya tawaran pendekatan kritis-filosofis mutlak diperlukan. Pendekatan kritis-filosofis diharapkan mampu melacak berbagai persoalan, termasuk dalam agama, sampai pada hal-hal yang bersifat mendasar dan fundamental.
Pemahaman agama secara mendasar dan fundamental ini yang diharapkan akan mampu memunculkan sikap kritis dalam beragama, membentuk mentalitas dan kematangan berfikir, serta kedalaman spiritual. Tepat pada ranah inilah, agama akan menjadi lebih humanis, tidak sekedar berisi doktrin yang kering tanpa makna, serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.
Persoalan krusial yang seringkali terjadi dalam keberagaman kita selama ini adalah bahwa agama yang pada mulanya hadir sebagai pembawa ruh peradaban serta tiang penyangga bagi tegaknya etika sosial, sekarang cenderung menjadi lembaga himpunan dogma teologis dan lembaga layanan ritual belaka. Agama dalam konteks tersebut kemudian menjadi kehilangan elan fitalnya.
Dalam kondisi yang demikian, maka terjadilah pereduksian dan pendangkalan terhadap makna agama. Karena itulah sudah saatnya diperlukan ikhtiar untuk mengembalikan pesan dan fungsi fundamental agama, yakni penghayatan nilai-nilai transendental yang sanggup membimbing manusia untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur pada kehidupan individu maupun sosial.
Dalam Truth Beyound Relativism (1999) Gregory Baum bahkan menegaskan bahwa signifikansi dan kebenaran agama sesungguhnya terletak pada keterkaitannya dengan komitmen solidaritas dan emansipasi. Komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran agama harus mampu membebaskan manusia dari belenggu-belenggu zamannya serta mengentaskannya dari ketertindasan.
Karena itu di tengah seringnya berbagai kelompok melakukan “pembajakan” terhadap agama, baik dalam bentuk kekerasan, pengekangan ekspresi berfikir seperti terjadi di Jakarta dan Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, maka berbagai pendekatan dalam memahami agama kiranya menjadi keniscayaan guna memberi angin segar yang dapat mengantar pada jenis pemahaman agama yang lebih bersifat terbuka terhadap realitas keberagamaan manusia yang sangat majemuk. Dengan semua itulah kekerasan yang seringkali mengatasnamakan agama dan Tuhan bisa dibendung.
Dalam kasus terkait pro kontra berbagai diskusi yang menghadirkan Irshad Manji misalnya, tulisan ini tidak dalam kapasitas mendukung atau menolaknya. Tetapi hal utama dan nilai moral yang ingin kita tegaskan adalah bahwa kita jelas menolak tindakan dan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun dan atas nama apa pun. (tulisan ini telah dipublikasikan Suara Pembaharuan, edisi 21 Mei 2012)
*Penulis adalah Ketua Dewan Pembina Laskar Aswaja dan Ketua Fraksi PKB DPR RI)
www.fraksi.pkb.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar