Popularitas partai politik berada di titik nadir akibat banyak kadernya terlibat korupsi
Oleh : Jeffrie Geovanie*
shnews.co - Pelembagaan politik secara sederhana
bisa diartikan sebagai proses penguatan institusi-institusi politik
yang punya peranan penting dalam proses demokratisasi.
Institusi-institusi politik seperti inilah yang kita sebut sebagai
pilar-pilar demokrasi. Institusi yang memiliki peran signifikan yang
tanpanya demokrasi tak bisa berjalan.
Salah satu fungsi pemilihan umum, baik
di tingkat daerah (pilkada) maupun di tingkat nasional (pemilu),
selain untuk memilih pemimpin secara periodik/berkala, adalah untuk
menguatkan proses dan pelembagaan politik.
Pelembagaan politik dalam
pemilu bisa dikatakan berhasil jika dalam prosesnya ditandai dengan
penguatan lembaga-lembaga politik, terutama jajaran partai politik
yang menjadi peserta pemilu. Tanpa partai yang terinstitusionalisasi,
pemilu tak bisa berjalan secara demokratis.
Oleh karena itu, jika dalam pilkada
misalnya, yang memenangkan suara rakyat ternyata calon yang bukan
dari partai politik (calon perseorangan), maka bisa dikatakan bahwa
proses penguatan pelembagaan politiknya kurang berhasil. Itu karena
partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi kurang berfungsi.
Melihat perkembangan pilkada yang
terjadi di negeri ini, saya bisa mengatakan bahwa ada perkembangan
yang sangat positif dalam proses penguatan kelembagaan partai
politik. Indikatornya antara lain: pertama, umumnya calon
perseorangan yang maju dalam pilkada tidak mendapatkan suara yang
signifikan.
Saat pertama kali calon perseorangan
diperkenankan mengikuti pilkada, banyak kalangan menduga akan
berakibat pada depolitisasi atau bahkan disfungsionalisasi partai
politik. Dugaan ini ternyata tidak terbukti. Kekalahan telak calon
perseorangan dalam sejumlah pilkada membuktikan bahwa rakyat masih
lebih percaya pada partai politik sebagai sarana perekrutan
kepemimpinan politik.
Kedua, partai politik pada umumnya
lebih memilih memajukan calon yang berasal dari kader sendiri
ketimbang yang bukan kader. Ini kecuali untuk partai-partai yang
suaranya tidak signifikan yang tidak punya pengaruh besar dalam
memajukan calon kepala daerah.
Pengajuan kader sendiri secara
konstruktif akan berdampak ganda, selain untuk memenangkan kader,
juga akan dengan sendirinya bisa mengonsolidasikan kekuatan infra dan
suprastruktur partai.
Oleh karena adanya faktor konsolidasi partai,
kecenderungan partai untuk memajukan kadernya sendiri (walaupun
mungkin popularitasnya masih di bawah calon yang bukan kader)
ternyata potensi kemenangannya tetap lebih menonjol. Sejumlah pilkada
yang berlangsung belakangan ini menjadi bukti bahwa popularitas calon
yang bukan kader dikalahkan oleh calon yang berasal dari kader
walaupun kalah populer.
Faktor inilah yang membuat
(seolah-olah) lembaga survei menjadi tidak akurat. Hal ini karena
pijakan survei pilkada hanya pada popularitas dan elektabilitas
seketika (pada saat survei dilakukan) tanpa memperhitungkan faktor
konsolidasi partai pada saat pilkada berlangsung.
Jika calon-calon kepala daerah yang
didukung oleh konsolidasi partai politik terbukti mampu mengalahkan
calon-calon yang jauh lebih populer namun tak didukung dengan
konsolidasi partai politik, tentu di masa yang akan datang, para
calon-calon yang populer itu akan berpikir seribu kali untuk maju
(secara perseorangan) tanpa melibatkan partai politik.
Oleh karena
partai-partai juga lebih condong memajukan kader ketimbang yang bukan
kader walaupun lebih populer, maka pada akhirnya setiap orang (siapa
pun) yang berkeinginan menjadi kepala daerah—atau jabatan-jabatan
publik lainnya—akan merasa lebih baik bergabung menjadi kader
partai terlebih dahulu sebelum benar-benar menjadi (calon) pejabat
publik.
Harus diakui, saat ini mungkin masih
banyak orang jumawa, yang merasa lebih menarik dan lebih populer jika
tidak punya kaitan dengan partai politik. Padahal, kalau kita lihat
fakta yang terjadi pada saat pilkada berlangsung, tingkat
keterpilihan calon yang berasal dari partai politik telap jauh lebih
signifikan ketimbang calon perseorangan.
Benar bahwa popularitas
partai politik sedang berada di titik nadir akibat dari
kader-kadernya yang terlibat korupsi. Namun, di mata rakyat (para
pemilih), mereka yang sudah teruji mampu memimpin partai politik
tetap dianggap relatif lebih baik dibandingkan dengan mereka yang
hanya mengandalkan popularitas namun tanpa mempunyai pengalaman
memimpin.
Semua itu membuktikan bahwa proses
pelembagaan politik dalam pemilu relatif bisa berjalan dengan baik.
Harapan kita, apa yang terjadi dalam pilkada bisa terjadi pula dalam
pemilu secara nasional. Artinya, bagi siapa pun yang berkeinginan
menjadi (calon) presiden pada Pemilu 2014, ada baiknya untuk mulai
mengaktifkan diri dalam partai politik.
Mengaktifkan diri dalam partai politik
jauh-jauh hari sebelum dicalonkan bisa menjadi pelajaran politik yang
sangat berharga. Secara pribadi (individual), selain bisa “magang”
dalam memimpin, juga bisa belajar menghormati proses dinamika yang
terjadi dalam partai politik.
Secara kelembagaan, proses semacam ini
akan menguatkan fungsi partai politik. Bahwa dalam pemilu, partai
politik bukan sekadar dijadikan batu loncatan yang hanya dimanfaatkan
pada saat pemilu berlangsung.
*Penulis adalah Founder The Indonesian
Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar