Rabu, 10 Juli 2013

Hindari Penjahat Jadi Pejabat

kompasiana.com - Dalam salah satu tulisannya beberapa waktu lalu, Ahmad Syafii Maarif mengingatkan kita bahwa pemimpin yang baik mesti dipersiapkan. Dalam kajian filsafat Augustinus Setyo Wibowo menulis, sifat keutamaan itu meliputi nilai-nilai baik-indah-dan benar. Di Pemilu 2014, kita perlu memperjuangkan orang-orang yang memiliki nilai-nilai keutamaan itu.

Agenda besar pesta demokrasi sudah dimulai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 15 partai politik (termasuk partai lokal di Aceh) sebagai peserta pemilihan umum legislatif 2014. Beberapa waktu lalu KPU baru saja menutup tahapan pendaftaran calon anggota legislatif. Setahun berikutnya, 9 April 2014, caleg itu akan kita pilih. Setelah memilih caleg, tiga bulan berikutnya kita memilih capres.
Jika pesta itu boleh diibaratkan pesta mantu, saat ini parpol sedang sibuk mempersiapkan menu makanannya, berupa bakal calon legislatif (caleg). Seperti yang kita baca di media massa, bakal caleg yang ditawarkan itu dari beraneka latar belakang. Ada yang sedang menjabat sebagai anggota legislatif, praktisi hukum, mantan birokrat, sampai artis.

Seperti pemilu sebelumnya, sebagai pemilih kita selalu disuguhi menu yang beraneka ragam rasa. Kita tinggal memilih sesuai selera. Idealnya sebelum menuju acara pesta tentu kita sudah mempunyai kriteria menu seperti apa yang akan kita nikmati. Tetapi pada kenyataannya, di antara kita banyak yang abai tentang kriteria itu. Sebab, di antara kita memang tidak pernah mempersiapkan diri menjadi pemilih.

Mengapa bisa demikian? Karena memang selama ini pemilih tidak pernah disiapkan secara khusus. Proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan KPU tidak lebih sekadar sensus tentang jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih. Adapun bagaimana cara menggunakan hak pilih itu secara semestinya, sejauh ini wilayah itu belum tersentuh.

Negara mencoba hadir dalam wilayah ini, yaitu melalui bantuan keuangan kepada parpol yang mempunyai kursi di legislatif. Jumlah bantuan itu disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh parpol dan besarannya disesuaikan peraturan daerah masing-masing.

Sesuai Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012, bantuan keuangan itu digunakan untuk pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat paling sedikit 60 persen. Meski ada parpol yang melibatkan masyarakat umum dalam pendidikan politik, tetapi banyak kendala. Sebab, ada perbedaan latar belakang dan ideologi yang bisa menjadi sekat antara kader parpol dan warga nonparpol.

Alangkah lebih baik jika ada anggaran khusus yang disalurkan kepada institusi netral untuk memberikan pendidikan politik bagi warga nonparpol. Selama ini negara memang membiayai KPU dalam pendidikan pemilih untuk masyarakat, tetapi jumlahnya tidak sebanyak anggaran negara yang disalurkan melalui parpol.

Penerima pulung

Dalam mitologi Jawa, event pemilihan pemimpin selalu dikaitkan dengan pulung, yaitu sebuah sinar terang yang turun dari langit pada malam hari. Dalam kamus, pulung berarti wahyu atau anugerah. Sebagian masyarakat memercayai, bagi seseorang yang rumahnya ketiban pulung, maka dialah yang akan menjadi pemenang.

Harus kita sadari bahwa era pemimpin ketiban pulung sudah tidak zamannya. Sebab, saat ini yang memengaruhi seseorang bisa terpilih atau tidak terkait erat dengan modal yang dimiliki. Selain logistik, modal itu bisa berupa pencitraan, pemberitaan positif di media massa, dan hasil survei lembaga riset tertentu.

Rakyat harus diingatkan bahwa dengan pemilu yang menghitung one man one vote (satu orang satu suara) kondisinya sangat berbeda ketika pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara penunjukan dari penguasa. Saat ini apakah seseorang calon bisa terpilih atau tidak bukan lagi ditentukan suara dari langit, tetapi suara dari bumi, yaitu suara pemilih itu sendiri yang diberikan saat di tempat pemungutan suara (TPS).

Melihat strategisnya posisi pemilih, maka yang perlu mendapatkan pulung justru pemilih itu sendiri agar tidak salah pilih. Pulung itu bisa saja datang dari langit melalui perantara manusia yang peduli dan mempunyai kerinduan mencari pemimpin. Bentuknya bisa melalui pendidikan politik kepada warga tanpa harus menunggu bantuan keuangan dari negara.

Melalui proses pendidikan politik itu, masyarakat perlu diajak berdialektika tentang makna memilih pemimpin. Pesta demokrasi yang hura-hura dan hanya mengharapkan serangan fajar harus dihentikan. Rakyat harus diajak menyambut pemilu dengan sukacita, sebab pemilu bisa dimaknai sebagai pelepas kerinduan untuk mencari pemimpin yang memiliki keutamaan.

Jika niat memilih sudah dijiwai secara benar, maka pemilu bisa menjadi gerbang emas untuk memperjuangkan calon pemimpin yang memiliki kesetiaan kepada rakyat dan memiliki keberanian dalam kebenaran. Kembali kita harus mengingatkan diri sendiri bahwa pemimpin dengan ciri-ciri keutamaan itu bukan turun secara tiba-tiba dari langit, tetapi butuh diperjuangkan oleh pemilih yang ada di bumi.

Menuju pesta Pemilu 2014, masih cukup waktu untuk menyiapkan pemilih yang menerima pulung. Baik pulung dimaknai sebagai pencerahan, maupun pulung akronim dari kumpulan pitulung (kumpulan pertolongan). Mari kita menjadi bagian pulung untuk orang yang membutuhkan. Mari kita gunakan Pemilu 2014 sebagai momentum untuk menghindari penjahat menjadi pejabat. (*) Edy Supratno, ketua Forum Kamis Legen (Kalen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar