Selasa, 09 Juli 2013

Nama Besar Tidak Ditentukan Gambar Besar



RADAR SULTENG - Hari-hari ini dan terutama menjelang Pemilu 2014, ruang-ruang publik akan makin disesaki dengan wajah-wajah calon legislatif (Caleg) yang terpajang di mana-mana. Di sepanjang jalan, nyaris tak ada lagi ruang bagi mata, untuk sejenak jeda dari gambar para caleg yang sedang mempromosikan diri. Kecenderungan mewabahnya virus narsis di kalangan politisi yang ditunjang kemajuan teknologi cetak digital menghasilkan cara berpikir instan untuk dikenal publik. Seolah-olah hanya dengan mencetak ribuan baliho dengan gambar wajah yang dipoles manis dan mulus, seketika popularitas dapat dicapai. Padahal nama besar hanya akan lahir dari sebuah karya besar. Nama besar tidak bisa dibeli dengan gambar besar yang dipasang secara massif sekalipun. Termasuk nama besar tidak lagi cukup diwarisi dari keluarga besar.  

Bagi mereka yang punya ikhtiar menjadi caleg, sebenarnya cukup bekerja dan berbuat yang terbaik di lingkungan dan komunitasnya. Hasilkan karya yang bermanfaat dan memberi efek bagi kehidupan. Dengan karya itu, seseorang akan dikenal, dicari, dan dipilih. Bukan dengan memasang foto diri di setiap sudut jalan yang justru mengundang sinisme dan cibiran dari setiap orang yang merasa terganggu. Politisi yang cerdas  mestinya berpikir ulang untuk menggunakan kampanye dengan cara-cara narsis seperti itu. Sebab pemasangan baliho caleg yang makin tidak terkendali saat ini adalah persoalan serius bagi estetika kota.  Hadirnya gambar-gambar caleg di ruang-ruang publik sesungguhnya harus dibayar dengan kesabaran dan toleransi publik atas suasana yang kurang elok tersebut. Tapi kesabaran dan toleransi selalu punya batas.

Caleg yang ideal adalah mereka yang berhasil menata rekam jejak dan prilakunya dalam bermasyarakat. Mampu membuktikan keberpihakannya kepada rakyat banyak. Jauh dari sikap arogan, prilaku koruptif,  dan sikap nepotism ketika diberi amanah memegang jabatan-jabatan publik. Telah selesai dengan diri dan keluarganya sehingga ketika dipercaya rakyat menjadi anggota DPR/DPD/DPRD tidak justru menjadikan jabatan itu sebagai alat mengumpul kekayaan. Jabatan adalah alat menebar kebajikan. Mengampanyekan hal-hal positif seperti ini tentu sangat tidak cukup dengan foto besar yang dipajang di mana-mana. Butuh kerja keras serta aktivitas sosial dan politik yang panjang. Maka sebenarnya tanpa “berkampanye” pun, sebenarnya masing-masing orang sudah memiliki pilihan. Pada titik itu, tugas seorang caleg hanyalah menjaga dan merawat kepercayaan itu. Cara merawatnya tidak perlu memasang gambar tapi konsisten dengan sikap dan jati dirinya. Inilah proyek besar untuk semakin merasionalkan demokrasi.

Tapi soal model kampanye, semuanya kembali lagi kepada masing-masing caleg untuk memilih media yang paling efektif dan tepat. Sebagaimana rakyat juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya pada Pemilu nanti. Namun atas nama ketertiban dan keteraturan, pemerintah daerah harus bertindak. Regulasi tentang penempatan baliho dan reklame harus dilaksanakan secara konsisten. Tidak terkecuali terhadap baliho para caleg yang makin menjamur saat ini. Pemerintah daerah harus berani menertibkan dan menurunkan baliho yang dipasang di tempat-tempat terlarang. Termasuk pula penempatan baliho di sudut-sudut jalan yang tidak layak dari segi estetika dan berpotensi mengancam keselamatan pengguna lalu lintas. Publik menunggu kesadaran caleg untuk berkontribusi bagi terwujudnya wajah kota yang lebih baik dan humanis. Jika kesadaran itu tidak muncul, sekali lagi pemerintah daerah ditunggu untuk menggunakan wewenang yang dimilikinya melalui penertiban.     
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar