RADAR SULTENG - Hari-hari ini dan terutama menjelang
Pemilu 2014, ruang-ruang publik akan makin disesaki dengan wajah-wajah calon
legislatif (Caleg) yang terpajang di mana-mana. Di sepanjang jalan, nyaris tak
ada lagi ruang bagi mata, untuk sejenak jeda dari gambar para caleg yang sedang
mempromosikan diri. Kecenderungan mewabahnya virus narsis di kalangan politisi
yang ditunjang kemajuan teknologi cetak digital menghasilkan cara berpikir
instan untuk dikenal publik. Seolah-olah hanya dengan mencetak ribuan baliho
dengan gambar wajah yang dipoles manis dan mulus, seketika popularitas dapat
dicapai. Padahal nama besar hanya akan lahir dari sebuah karya besar. Nama
besar tidak bisa dibeli dengan gambar besar yang dipasang secara massif
sekalipun. Termasuk nama besar tidak lagi cukup diwarisi dari keluarga besar.
Bagi mereka yang punya ikhtiar
menjadi caleg, sebenarnya cukup bekerja dan berbuat yang terbaik di lingkungan
dan komunitasnya. Hasilkan karya yang bermanfaat dan memberi efek bagi
kehidupan. Dengan karya itu, seseorang akan dikenal, dicari, dan dipilih. Bukan
dengan memasang foto diri di setiap sudut jalan yang justru mengundang sinisme
dan cibiran dari setiap orang yang merasa terganggu. Politisi yang cerdas
mestinya berpikir ulang untuk menggunakan kampanye dengan cara-cara narsis
seperti itu. Sebab pemasangan baliho caleg yang makin tidak terkendali saat ini
adalah persoalan serius bagi estetika kota. Hadirnya gambar-gambar caleg
di ruang-ruang publik sesungguhnya harus dibayar dengan kesabaran dan toleransi
publik atas suasana yang kurang elok tersebut. Tapi kesabaran dan toleransi
selalu punya batas.
Caleg yang ideal adalah mereka yang
berhasil menata rekam jejak dan prilakunya dalam bermasyarakat. Mampu
membuktikan keberpihakannya kepada rakyat banyak. Jauh dari sikap arogan,
prilaku koruptif, dan sikap nepotism ketika diberi amanah memegang
jabatan-jabatan publik. Telah selesai dengan diri dan keluarganya sehingga
ketika dipercaya rakyat menjadi anggota DPR/DPD/DPRD tidak justru menjadikan
jabatan itu sebagai alat mengumpul kekayaan. Jabatan adalah alat menebar
kebajikan. Mengampanyekan hal-hal positif seperti ini tentu sangat tidak cukup
dengan foto besar yang dipajang di mana-mana. Butuh kerja keras serta aktivitas
sosial dan politik yang panjang. Maka sebenarnya tanpa “berkampanye” pun,
sebenarnya masing-masing orang sudah memiliki pilihan. Pada titik itu, tugas
seorang caleg hanyalah menjaga dan merawat kepercayaan itu. Cara merawatnya
tidak perlu memasang gambar tapi konsisten dengan sikap dan jati dirinya.
Inilah proyek besar untuk semakin merasionalkan demokrasi.
Tapi soal model kampanye, semuanya
kembali lagi kepada masing-masing caleg untuk memilih media yang paling efektif
dan tepat. Sebagaimana rakyat juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya
pada Pemilu nanti. Namun atas nama ketertiban dan keteraturan, pemerintah
daerah harus bertindak. Regulasi tentang penempatan baliho dan reklame harus
dilaksanakan secara konsisten. Tidak terkecuali terhadap baliho para caleg yang
makin menjamur saat ini. Pemerintah daerah harus berani menertibkan dan
menurunkan baliho yang dipasang di tempat-tempat terlarang. Termasuk pula
penempatan baliho di sudut-sudut jalan yang tidak layak dari segi estetika dan
berpotensi mengancam keselamatan pengguna lalu lintas. Publik menunggu
kesadaran caleg untuk berkontribusi bagi terwujudnya wajah kota yang lebih baik
dan humanis. Jika kesadaran itu tidak muncul, sekali lagi pemerintah daerah
ditunggu untuk menggunakan wewenang yang dimilikinya melalui penertiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar