Kamis, 08 November 2012

Intoleransi yang (Tidak) Bisa Ditoleransi ?

Oleh : Drs. Osberth Sinaga, M.Si. 

Survei LSI sangat mengejutkan kita semua. Hasil survei ini menjadi potensi yang mengancam keberagaman yang sedang kita galang untuk hidup bersama. Apa jadinya jika negara ini terkapling-kapling hanya karena faktor suku, agama, keyakinan, atau identitas yang berbeda. Padahal perbedaan itu sangat bagus dan bisa menjadi sumber daya yang hebat bagi sebuah bangsa. Apa yang dilaporkan LSI dimana gejala sikap intoleransi yang sangat tinggi sedang terjangkit dalam komunitas masyarakat kita harus dicegah agar tidak membahayakan bangsa ini.

Saat dimana-mana ada upaya maksimal dalam mensosialisasikan empat pilar kebangsaan kepada masyarakat dengan tujuan menciptakan kehidupan yang harmonis dikalangan warga, muncul pula hasil survei LSI yang sangat mengejutkan kita semua. Mengapa tidak survei LSI itu merupakan sesuatu yang tidak menggembirakan dalam pelembagaan kebhinnekaan di negara kita. Pemerintah sudah melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan supaya menjadi fondasi yang kokoh bagi bangsa ini. Tetapi apa lacur, sosialisasi dalam bentuk diskusi, seminar ternyata tidak efektif dalam masih belum kuat untuk menyatukan semua suku, agama, ras untuk hidup dalam kerukunan.

Sikap intoleransi atau tidak mau menerima perbedaan merupakan kendala utama dalam membina keutuhan bangsa yang berdasarkan Pancasila, Padahal kalau kita renungkan atau kita refleksikan kembali perumusan ideologi Pancasila merupakan konsep yang sangat cerdas bagaimana supaya bangsa ini hidup rukun. Dimana para the founding father kita melihat bahwa perbedaan merupakan realitas yang tidak mungkin bisa dihindari.

Pertanyaannya, kalau para nenek moyang kita yang begitu cerdas itu sudah menempatkan perbedaan dalam konteks yang sudah tepat, artinya mereka mengadopsi ideologi Pancasila sebagai dasar negara untuk dapat hidup bersama dalam nuansa perbedaan itu, mengapa kita justru sekarang ini mengalami kemunduran yang luar biasa? Setidaknya, kerusuhan atau konflik yang sering terjadi karena masalah sudut pandang yang berbeda bisa menjelaskan betapa masalah perbedaan identitas sudah menjadi ancaman yang sangat nyata.

Coba kita lihat hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan sikap intoleransi terhadap perbedaan identitas oleh publik Indonesia makin mengkhawatirkan, dengan sekelompok orang menjustifikasi kekerasan terhadap kelompok yang berbeda tersebut. Peneliti LSI, Ardian Sopa, pada Minggu (21/10) menjelaskan, hasil survei yang dilakukan pada 1-8 Oktober pada 1.200 responden menunjukkan bahwa hampir 50 persen warga Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan jemaah Syiah dan Ahmadiyah.

Selain itu, menurut Ardian, lebih dari 80 persen responden merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan kelompok homoseksual. Sementara itu, mereka yang mengaku tidak merasa nyaman bertetangga dengan pemeluk agama lain adalah 15 persen, ujar Ardian.

"Yang menyatakan tidak menerima hidup berdampingan dengan mereka] yang berbeda agama adalah 15,1 persen. Lalu masyarakat yang merasa tidak menerima tetangganya orang Syiah itu 41,8 persen. Untuk Ahmadiyah 46,6 persen. Dan untuk homoseksual itu 80,6 persen. Jadi ini kenyataan buat kita bahwa 15 sampai 80 persen publik Indonesia tidak menerima dengan yang berbeda identitas,".

Anugerah yang Luar Biasa

Apakah ini akan menjadi ancaman bagi negara kita? Bagaimana bangsa ini bisa membangun kedepan jika masalah perbedaan ini tidak bisa diselesaikan dengan baik? Padahal kalau kita renungkan lebih dalam, justru perbedaan itu adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Justru ketika kita berbeda disinilah potensi kita tersimpan. Dengan berbeda banyak sumber daya yang bisa digali dari perbedaan itu. Masalah utama kita sekarang adalah bagaimana menempatkan perbedaan itu dalam koridor yang tepat sehingga menjadi sebuah potensi yang sangat besar.

Kalau kita lihat lagi kenyataan di negara kita mengapa masyarakat menjadikan perbedaan sebagai halangan dalam hidup bersama sedikit banyaknya diakibatkan oleh pemerintah yang sangat lemah dalam penanganan hukum. Seharusnya pemerintah bisa berbuat tegas bagi pelaku kekerasan karena perbedaan. Dengan demikian akan timbul efek jera. Setidaknya siapapun nanti pelaku kekerasan karena perbedaan maka akan berpikir dua kali dalam melakukan aksinya.

Bagaimana mengelola perbedaan sehingga ini bisa dijadikan potensi dalam pembangunan bangsa ini sudah saatnya kembali dipikirkan oleh pemerintah. Pemerintah harus mendorong terus bagaimana supaya masyarakat menjadikan perbedaan sebagai modal utama pembangunan bangsa. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita dalam mendorong perbedaan sebagai modal dasar pembangunan bangsa.

Pertama, melakukan terus sosialisasi empat pilar kebangsaan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Suasana kebhinnekaan harus dipertahankan dan jangan dilihat sebagai potensi konflik. Sosialisasi dengan baik akan membuat masyarakat sedikit banyaknya bisa menerima perbedaan itu sendiri. Alangkah indahnya jika kita hidup berdampingan dengan berbagai identitas.

Kedua, harus dilihat ketika konflik karena perbedaan itu terjadi dipicu oleh kemiskinan. Artinya dalam kondisi masyarakat yang sangat miskin frustrasi sosial gampang merebak. Akibatnya ini akan memicu masyarakat berbuat onar karena kondisi dirinya yang tidak menguntungkan. Untuk itu upaya pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan atau kesejahteraan rakyat harus optimal. Pendekatan kesejahteraan harus dilakukan untuk menjaga agar emosional masyarakat jangan cepat tersulut.

Ketiga, penegakan hukum yang berkeadilan dan berwibawa oleh pemerintah. Pemerintah perlu menegakkan hukum dengan tegas bagi para pelaku kekerasan. Penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan akan mendidik masyarakat untuk patuh pada hukum. Tingkat kepatuhan kepada hukum merupakan modal dasar pembangunan sebuah bangsa. Tidak ada bangsa di dunia ini yang maju kalau hukumnya tidak tegas.

Sekali lagi, sikap intoleransi yang menggejala di masyarakat kita jangan dibiarkan. Berbagai upaya harus dilakukan agar kehidupan harmonis dengan mengedepankan dialog benar-benar terjadi. Kita adalah komunitas masyarakat yang berbeda secara suku, agama, dan budaya. Tetapi perlu disadari semua komponen bangsa ini, perbedaan itu adalah rahmat yang harus kita syukuri dan kita jadikan kekayaan bangsa. Dengan demikian sikap intoleransi tidak terjadi lagi yang bisa menghambat pembangunan.

Bangsa ini harus bisa belajar dari ketertinggalan bangsa-bangsa Afrika yang selalu mengedepankan kekerasan sebagai wujud kompleks dari sikap intoleransi. Bangsa Afrika terus dihadapkan pada perang karena suburnya praktik intoleransi. Akibatnya Afrika menjadi simbol keterbelakangan bangsa di dunia ini. Pembangunan mereka gagal total karena gagal mengelola stabilitas politik atau stabilitas keamanan. Semuanya itu bermula dari rasa egoisme suku, agama yang selalu mereka kedepankan.

Mari membumikan sikap toleransi ditengah kehidupan bangsa yang memang plural. Bukan jamannya lagi kita bicara mengenai suku, agama, atau keyakinan. Mari melihat dari sisi karakter dan perilakunya. Siapapun dia, apapun statusnya, kalau perilaku dan karakternya bagus harus kita terima sebagai bagian dari kita. Hanya dengan demikianlah bangsa ini sampai pada keadaban yang sesungguhnya. Ingat konsep Pancasila adalah konsep cerdas yang lahir untuk merawat perbedaan di negara ini.

Penulis adalah Dosen FPBS UNIMED Medan/ Pimpinan PKMI I Medan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar