HARIANMERCUSUAR.com - Akses jalan di Desa Saloya, Kecamatan Sindue Tombusabora, Kabupaten
Donggala dari dulu memang menjadi kendala warga untuk beraktivitas.
Termasuk dalam pemberian layanan kesehatan oleh Puskesmas Pembantu
(Pustu) di desa itu.
Oleh: Misbah Hidayat
Bidan Pustu Saloya, Yulianti Asli atau yang akrab disapa Mama Dede mengaku desa tersebut memiliki empat dusun. Namun luas wilayahnya menyerupai empat desa. Sehingga ia kewalahan dalam memberi pelayanan mengingat jangkauannya terlalu luas. Apalagi dengan kondisi jalan yang begitu rusak.
“Bidan di Pustu Saloya hanyalah saya untuk menjangkau seluruh dusun. Dengan kondisi ini, saya berharap ada tambahan bidan untuk membantu saya,” harapnya.
Desa yang terkenal penghasil pisang itu berada di salah satu lereng
gunung di atas Desa Toaya. Aksesna yang jauh dan sulit membuat desa itu
terisolir tanpa sinyal. Ia pun terkendala terkait hal tersebut, sehingga
kesulitan ketika hendak berkonsultasi dengan dokter.
Oleh: Misbah Hidayat
Bidan Pustu Saloya, Yulianti Asli atau yang akrab disapa Mama Dede mengaku desa tersebut memiliki empat dusun. Namun luas wilayahnya menyerupai empat desa. Sehingga ia kewalahan dalam memberi pelayanan mengingat jangkauannya terlalu luas. Apalagi dengan kondisi jalan yang begitu rusak.
“Bidan di Pustu Saloya hanyalah saya untuk menjangkau seluruh dusun. Dengan kondisi ini, saya berharap ada tambahan bidan untuk membantu saya,” harapnya.
“Seringnya saya harus mencari sinyal ke bantaran sungai yang jaraknya dari pustu sekitar dua kilometer. Lokasi itu paling dekat dibanding saya harus turun ke Toaya untuk mencari sinyal. Jadi kalau ada kasus serius, seringnya saya terlambat menangani karena harus setengah mati mencari sinyal untuk telepon dokter di puskesmas,” tuturnya. Puskesmas di kecamatan itu hanya ada di Desa Batusuya. Sebenarnya letak puskesmas itu tidak jauh jika ada jembatan di sungai Saloya.
“Kalau ada jembatan, warga Saloya cukup melewatinya menuju Desa Tibo yang kemudian sampai di Desa Batusuya. Tapi sayangnya jembatan itu tidak ada. Apalagi sudah beberapa kali sungai Saloya menelan korban hanyut karena arusnya deras. Makanya kalau mau berobat ke puskesmas, warga harus melewati jalan rusak hingga Toaya barulah menuju Batusuya. Itupun memakan waktu berjam-jam,” keluhnya.
Menurutnya, beberapa pasien dari Saloya tidak jadi berobat ke puskesmas karena ketidaksediaan kendaraan. Kalaupun ada, biayanya mahal karena beresiko harus beradu nyawa menuruni tebing dengan jalan rusak. Sehingga kebanyakan pasien tidak mampu membayarnya, khususnya pasien jamkesmas. “Kami benar-benar berharap pemerintah dapat memfasilitasi kami ambulance desa agar akses pelayanan warga Saloya dapat terakomodiir,” pinta Mama Dede.
Selain itu, pustu yang dibangun sejak tahun 1997 itu hingga kini belum pernah direhabilitasi (direhab). Sementara fisik bangunan setengah papan itu tak lagi layak. Selain papan yang telah lapuk, atap pustu pun sudah rusak. Ditambah lagi lantai semennya juga sudah pecah-pecah.
“Kalau hujan deras, pustu ini sering tergenang, karena tidak adanya aliran air. Setiap tahun saya sudah mengusulkan rehab, tapi belum pernah terealisasi. Kadis Kesehatan Donggala juga pernah janji mau rehab pustu ini. Tapi sampai sekarang tidak ada buktinya,” tandasnya.
Meski demikian, ia mengaku tetap berusaha optimal melayani warga. Salah satu bukti keberhasilannya adalah posyandu binaan pustu tersebut dinobatkan sebagai posyandu plus dan unggulan se Donggala. Ia berharap pemerintah dapat memperhatikan dan mmenindaklanjuti keluhan dan kendala itu, guna meningkatkan pelayanan kesehatan di desa tersebut. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar