krjogja.com - Bentrok antara organisasi kemasyarakatan (Ormas) Front Pembela Islam
(FPI) dengan warga di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menegaskan pada
dasarnya Undang-Undang (UU) Ormas diperlukan untuk mengontrol eksistensi
Ormas.
Jika dilihat dari UU Ormas, yang dilakukan FPI itu
adalah sebuah tindakan pelanggaran dan layak dikenai sanksi. Sebab tidak
dibenarkan sebuah Ormas melakukan aksi sweeping, terlebih disertai
dengan tindak kekerasan yang merugikan warga.
“Apa yang
dilakukan FPI itu masuk dalam klausul larangan di UU Ormas, karena
melakukan tindak kekerasan dan membahayakan ketertiban umum," kata Ketua
Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain di Jakarta, Sabtu (20/07/2013)
malam.
Menurutnya, FPI telah berkomunikasi dengan Pansus RUU
Ormas perihal pasal-pasal yang di dalam UU tersebut. "FPI sudah
dikomunikasikan, dan mereka saya kira sudah tahu, kalau UU Ormas
eksplisit yang dilakukan itu sudah melanggar," sambungnya.
Hanya saja yang menjadi persoalan, meskipun telah disahkan oleh DPR,
namun UU Ormas tersebut belum ditandatangani oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Alhasil UU tersebut belum bisa diterapkan.
"Ini kan belum ditandatangani, mungkin faktor administrasi. Tapi apa
pun, meskipun ini belum efektif tetap pemerintah harus bertindak atas
nama publik," tegas politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Sebelumnya, bentrok antara massa FPI dan warga terjadi di Sukoharjo,
Kendal, pada Kamis 18 Juli 2013. Bentrokan terjadi saat FPI
men-sweeping tempat hiburan di Sukoharjo dan Patean. FPI mendapat
penolakan warga karena beraksi dengan menggunakan kekerasan.
Dalam aksi penolakan ini, anggota FPI terlibat kecelakaan hingga
mengakibatkan korban meninggal. Kerusuhan pun meluas akibat peristiwa
kecelakaan itu. Warga yang marah membakar dan merusak mobil yang
ditumpangi anggota FPI. Hingga saat ini, Polres Kendal, menetapkan lima
orang sebagai tersangka. (Danar Widiyanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar