KOMPASIANA.com - Salah seorang filantropi yang terkaya di dunia bernama William Henry Gates III pernah berkata: “Kalau Anda lahir miskin, itu bukan salah Anda, tapi jika Anda mati miskin itu jelas salah Anda”. Pernyataan dari mantan CEO Microsoft yang akrab disapa “Bill Gates” itu nampaknya mengandung sebuah kebenaran apabila diterapkan kedalam kehidupan pribadi seseorang. Namun apabila hal itu berkaitan dengan hak dari seorang rakyat yang lahir, hidup dan tinggal didalam sebuah negara, apalagi negara yang kaya raya, maka pernyataan tersebut belumlah dapat dianggap benar.
Pendiri “Bill and Melinda Gates Foundation” ini pernah berkunjung ke Indonesia dan menjadi pembicara utama dalam forum “Presidential Lecture” yang diselenggarakan di Jakarta oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada awal bulan Mei tahun 2008 silam. Dalam forum itu Bill Gates didampingi oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang mendadak harus mengganti pakaian jasnya dengan kemeja batik dikarenakan sang pembicara tamu tampil dengan memakai batik rancangan dari Iwan Tirta.
Kembali ke pernyataan dari Bill Gates diatas, apabila diterapkan kepada seorang bahkan seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu negara “super kaya” sumber daya alam dan sumber daya manusia di dunia ini, maka pernyataan itu tidak terlalu tepat. Apalagi bila kita kembali membaca dan merujuk pada konstitusi negara kita, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45), dimana dalam pasal 27 ayat 2 dinyatakan bahwa rakyat berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta dalam pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dengan berdasar pada dua pasal UUD’45 ini saja sejatinya bahwa dimuka bumi pertiwi nusantara ini tidak boleh ada seorangpun rakyat yang tidak mendapatkan pekerjaan alias menjadi pengangguran, juga tidak boleh ada seorang rakyat yang penghidupannya tidak layak atau berada di garis kemiskinan. Kalaupun ada seorang rakyat yang miskin maka kewajiban negara melalui pemerintah untuk memeliharanya (dalam jangka pendek) serta berusaha untuk membuatnya kembali menjadi sejahtera (dalam jangka panjang).
Faktanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37%. Angka kemiskinan ini tentu melebihi target yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 dimana angka kemiskinan ditetapkan sebesar 10,5%. Berdasarkan data BPS per bulan Februai 2013 menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta orang atau 5,92%, dimana Pemerintah menargetkan sebesar 5,5 - 5,8% di akhir tahun 2013. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 1 diantara 9 orang Indonesia adalah rakyat miskin dan 1 diantara 17 orang Indonesia adalah pengangguran.
Alangkah aneh di negara yang kaya raya dengan hasil-hasil alamnya ini, yang juga anggota Forum G-20, yaitu kelompok negara-negara maju dan berkembang, ternyata kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan dan dituntaskan oleh Pemerintah. Sepantasnya Pemerintah kembali membaca amanat konstitusi UUD’45 pada pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bila Pemerintah konsisten menjalankan roda pemerintahan sesuai ayat ini maka seluruh kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia sejatinya digunakan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Bila kita mengevaluasi kinerja Pemerintah berdasarkan pada ke-3 pasal dalam UUD’45, yaitu: pasal 27 ayat 2; pasal 34 ayat 1; dan pasal 33 ayat 3 maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia semenjak masa Orde Lama, kemudian Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, belum dapat memenuhi amanat konstitusi UUD’45 untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, yang bebas dari kemiskinan dan pengangguran. Faktanya masih banyak saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang menganggur (tanpa pekerjaan tetap) dan hidup dalam kemiskinan (bahkan dibawah garis kemiskinan) dalam negara yang kaya raya dan telah merdeka selama 68 tahun ini. Sedikit menambahkan pernyataan dari Bill Gates diawal tulisan ini, yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu: “Kalau kita masih tetap miskin, maka itu bukanlah salah kita, melainkan negara yang harus bertanggung-jawab”.
Pendiri “Bill and Melinda Gates Foundation” ini pernah berkunjung ke Indonesia dan menjadi pembicara utama dalam forum “Presidential Lecture” yang diselenggarakan di Jakarta oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada awal bulan Mei tahun 2008 silam. Dalam forum itu Bill Gates didampingi oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang mendadak harus mengganti pakaian jasnya dengan kemeja batik dikarenakan sang pembicara tamu tampil dengan memakai batik rancangan dari Iwan Tirta.
Kembali ke pernyataan dari Bill Gates diatas, apabila diterapkan kepada seorang bahkan seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu negara “super kaya” sumber daya alam dan sumber daya manusia di dunia ini, maka pernyataan itu tidak terlalu tepat. Apalagi bila kita kembali membaca dan merujuk pada konstitusi negara kita, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45), dimana dalam pasal 27 ayat 2 dinyatakan bahwa rakyat berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta dalam pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dengan berdasar pada dua pasal UUD’45 ini saja sejatinya bahwa dimuka bumi pertiwi nusantara ini tidak boleh ada seorangpun rakyat yang tidak mendapatkan pekerjaan alias menjadi pengangguran, juga tidak boleh ada seorang rakyat yang penghidupannya tidak layak atau berada di garis kemiskinan. Kalaupun ada seorang rakyat yang miskin maka kewajiban negara melalui pemerintah untuk memeliharanya (dalam jangka pendek) serta berusaha untuk membuatnya kembali menjadi sejahtera (dalam jangka panjang).
Faktanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37%. Angka kemiskinan ini tentu melebihi target yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 dimana angka kemiskinan ditetapkan sebesar 10,5%. Berdasarkan data BPS per bulan Februai 2013 menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta orang atau 5,92%, dimana Pemerintah menargetkan sebesar 5,5 - 5,8% di akhir tahun 2013. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 1 diantara 9 orang Indonesia adalah rakyat miskin dan 1 diantara 17 orang Indonesia adalah pengangguran.
Alangkah aneh di negara yang kaya raya dengan hasil-hasil alamnya ini, yang juga anggota Forum G-20, yaitu kelompok negara-negara maju dan berkembang, ternyata kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan dan dituntaskan oleh Pemerintah. Sepantasnya Pemerintah kembali membaca amanat konstitusi UUD’45 pada pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bila Pemerintah konsisten menjalankan roda pemerintahan sesuai ayat ini maka seluruh kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia sejatinya digunakan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Bila kita mengevaluasi kinerja Pemerintah berdasarkan pada ke-3 pasal dalam UUD’45, yaitu: pasal 27 ayat 2; pasal 34 ayat 1; dan pasal 33 ayat 3 maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia semenjak masa Orde Lama, kemudian Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, belum dapat memenuhi amanat konstitusi UUD’45 untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, yang bebas dari kemiskinan dan pengangguran. Faktanya masih banyak saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang menganggur (tanpa pekerjaan tetap) dan hidup dalam kemiskinan (bahkan dibawah garis kemiskinan) dalam negara yang kaya raya dan telah merdeka selama 68 tahun ini. Sedikit menambahkan pernyataan dari Bill Gates diawal tulisan ini, yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu: “Kalau kita masih tetap miskin, maka itu bukanlah salah kita, melainkan negara yang harus bertanggung-jawab”.
Oleh: Hentje Pongoh, SE, MM / Chairman HP Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar