SATUSULTENG.com- Hujan rintik mengguyur Desa, Towale, Kabupaten Donggala, namun Ibu di atas panggung itu masih asyik dengan aktifitasnya. Tangannya terampil mengayun alat tenun yang ada dipangkuannya.
Sesekali, dipungutnya beberapa benang yang tersangkut, diangkatnya pelan-pelan dan diletakkan dengan seksama pada tempatnya. Penuh kesabaran.
Sukriana nama ibu pengrajin kain tenun itu, usianya sudah 38 tahun. Sejak kelas 5 SD dia sudah mewarisi keahlian orang tuanya, menenun sutera khas Donggala.
Saya terpukau. Bayangkan, kain sepanjang itu benar-benar berasal dari rangkaian benang sutera yang dijalin dengan tangan telanjangnya.
Mula-mula benang sutera disusun satu persatu. Harus sangat hati-hati dan teliti. Kemudian aplikasi motif disusun dengan menggunakan alat khusus dari bambu yang diletakkan berselang-seling sesuai motif yang dipilih.
Berikutnya, benang-benang itu dirangkai mengikuti alurnya. Dengan cekatan, tangan halus itu menghentak-hentakkan alat tenun, mengikat benang-benang itu menjadi satu.
Berhari-hari, sambung-menyambung hingga menjadi sebuah kain panjang yang cantik dan halus. Pekerjaan yang sekilas tampak rumit itu dilakukan dengan riang.
“Menenun harus penuh kesabaran, santai, dan jangan gegabah, kalau tidak sabar, hasilnya pun akan tidak baik.” kata Ibu dua anak itu.
Proses menenun 1 buah kain panjang 4 meter memakan waktu selama satu bulan. Dari memilih benang, mengenalkan warna-warna dan motif, hingga selesai. “ 1 kain panjang 4 meter dan selendang harganya berkisar dari 600 ribu hingga 650 ribu. Paling-paling untungnya dalam satu kain hanya 200 ribu,” ungkap Sukriana.
Dengan keuntungan 200 ribu selama sebulan jelas tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pokok sehari-hari. “Kalau mau dihitung-hitung, pendapatan dari hasil tenun ini, tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Tapi apa boleh buat, saya tidak punya sekolah, tidak ada pekerjaan lain, yang bisa buat selain menenun.” ujarnya dengan wajah haru.
Ritme kehidupan Sukriana itu dimulai sejak pagi. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, memasak atau menyapu, dia memulai aktifitasnya menenun dengan tekun. Menenun adalah pekerjaan tangan, mata dan hati. Meski dilakukan sambil bercanda, tangan, mata dan hati Sukriana terpusat pada satu hal.
Sukriana menaruh harapan, kedepan dia akan dapat menenun lebih banyak kain khas Donggala sehingga, keuntungan yang didapatkan akan lebih banyak lagi.
Sesekali, dipungutnya beberapa benang yang tersangkut, diangkatnya pelan-pelan dan diletakkan dengan seksama pada tempatnya. Penuh kesabaran.
Sukriana nama ibu pengrajin kain tenun itu, usianya sudah 38 tahun. Sejak kelas 5 SD dia sudah mewarisi keahlian orang tuanya, menenun sutera khas Donggala.
Saya terpukau. Bayangkan, kain sepanjang itu benar-benar berasal dari rangkaian benang sutera yang dijalin dengan tangan telanjangnya.
Mula-mula benang sutera disusun satu persatu. Harus sangat hati-hati dan teliti. Kemudian aplikasi motif disusun dengan menggunakan alat khusus dari bambu yang diletakkan berselang-seling sesuai motif yang dipilih.
Berikutnya, benang-benang itu dirangkai mengikuti alurnya. Dengan cekatan, tangan halus itu menghentak-hentakkan alat tenun, mengikat benang-benang itu menjadi satu.
Berhari-hari, sambung-menyambung hingga menjadi sebuah kain panjang yang cantik dan halus. Pekerjaan yang sekilas tampak rumit itu dilakukan dengan riang.
“Menenun harus penuh kesabaran, santai, dan jangan gegabah, kalau tidak sabar, hasilnya pun akan tidak baik.” kata Ibu dua anak itu.
Proses menenun 1 buah kain panjang 4 meter memakan waktu selama satu bulan. Dari memilih benang, mengenalkan warna-warna dan motif, hingga selesai. “ 1 kain panjang 4 meter dan selendang harganya berkisar dari 600 ribu hingga 650 ribu. Paling-paling untungnya dalam satu kain hanya 200 ribu,” ungkap Sukriana.
Dengan keuntungan 200 ribu selama sebulan jelas tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pokok sehari-hari. “Kalau mau dihitung-hitung, pendapatan dari hasil tenun ini, tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Tapi apa boleh buat, saya tidak punya sekolah, tidak ada pekerjaan lain, yang bisa buat selain menenun.” ujarnya dengan wajah haru.
Ritme kehidupan Sukriana itu dimulai sejak pagi. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, memasak atau menyapu, dia memulai aktifitasnya menenun dengan tekun. Menenun adalah pekerjaan tangan, mata dan hati. Meski dilakukan sambil bercanda, tangan, mata dan hati Sukriana terpusat pada satu hal.
Sukriana menaruh harapan, kedepan dia akan dapat menenun lebih banyak kain khas Donggala sehingga, keuntungan yang didapatkan akan lebih banyak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar